Saturday, September 19, 2009


Cerita ini fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat dan waktu hanya suatu kebetulan saja.
PUTRA DAERAH
Konon di sebelah ujung timur pulau Madura, tepatnya di Kota Sumenep ada sebuah desa yang sangat megah dan indah. Pagarbatu nama desa itu. Kehidupan rakyat desa Pagarbatu sangat makmur dan sejahtera, karena dipimpin oleh seorang Kepala desa yang arif dan bijaksana.
Kepala desa yang memerintah desa Pagarbatu mempunyai seorang putri yang sangat cantik yang bernama Hasiyah. Sejak menginjak masa remaja Hasiyah sering dilamar oleh para Walikota dari berbagai kota, karena kecantikannya. Namun diantara lamaran-lamaran tersebut tak satupun yang diterimanya.
Pada suatu malam Hasiyah bertemu dan bercinta dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, Hasbalah namanya. Hasil dari hubungan tersebut ternyata Hasiyah menjadi hamil. Karena takut aib itu diketahui orang, maka Hasiyah bermaksud mencari Pemuda yang bernama Hasbalah tersebut.
Dalam pengembaraannya mencari Hasbalah, Hasiyah bertemu dengan seorang yang sedang sembahyang di sebuah mushollah. Orang itu ternyata kakak dari Hasbalah, Hasbulah namanya. Setelah lama bercerita tentang hal ihwal kehamilannya, maka Hasiyah diajak Hasbulah Menemui Hasbalah, adiknya. “Kanda juga sering teringat dirimu, hai dinda!” kata Hasbalah setelah bertemu dengan Hasiyah. “Lalu bagaimana nasib dinda setelah kejadian ini, kandaku?”. “Kalau begitu dinda tunggulah kanda di desa, kanda setiap malam akan ke sana. Dan apabila anak kita sudah lahir, maka titipkan ia ke orang di desa sebelah!” kata Hasbalah menasehati Hasiyah. Baiklah kanda, kalau begitu sebaiknya dinda kembali ke desa sekarang.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang molek dari kandungan Hasiyah. Karena malu aib ini diketahui ayahandanya beserta orang-orang di Desa, maka malam itu juga Hasiyah keluar membawa anaknya. Karena takut keburu diketahui orang, maka anak tersebut ditinggal saja di tengah hutan oleh Hasiyah.
Sementara itu, di Desa sebelah, hiduplah seorang Peternak kambing yang bernama Ki Ambani. Setiap hari Ki Ambani mengumbar kambingnya untuk mencari makan sendiri di tengah hutan. Namun ada yang aneh dalam pikirannya. Karena di antara kambing-kambing miliknya itu, ada satu kambing betina yang sering pulang terlambat dan badannya semakin hari semakin kurus saja.
Karena penasaran dengan hal itu, maka diam-diam Ki Ambani membuntuti kambing yang bernama Karasak itu. Ternyata kambing tersebut pergi menemui seorang bayi yang ada di hutan itu. Saat ditemukan oleh Ki Ambani, Kambing Karasak sedang menyusui bayi itu. Maka dengan hati senang Ki Ambani membawa bayi itu pulang ke rumahnya. Kemudian oleh Ki Ambani bayi itu diberi nama Kafilah.
Setelah menginjak remaja Kafilah, minta ijin kepada kakeknya Ki Ambani untuk mengembara mencari pengalaman hidup. Di tengah pengembaraannya ia bertemu dengan seorang Kyai yang sedang bersembahyang di dalam mushollah. Seorang Kyai itu tidak lain adalah pamannya yaitu Hasbulah. Dari Hasbulah, Kafilah baru tahu bahwa ia adalah seorang cucu kepala desa Pagarbatu. Oleh karena itu Kafilah bermaksud menemui ayahandanya dan kemudian pulang ke desa menemui ibundanya.
Setelah sampai di desa Pagarbatu, ternyata Pagarbatu sedang diserang oleh musuh yang sangat sakti dari Tolanga yang bernama Kamsur. Ia menyerang Pagarbatu karena lamarannya ditolak oleh Hasiyah. Kamsur menyerang Pagarbatu dengan memakai ilmu hitam. Dalam peperangan itu gugurlah seorang teman karib Kafilah yang bernama Sudungan dan dimakamkan di suatu tempat. Tempat itu sampai sekarang diberi nama Balandungan yaitu suatu tumpukan batu yang berada di sebelah selatan Desa Pagarbatu.
Karena Pagarbatu hampir kalah dalam peperangan, maka sebagai seorang cucu kepala desa Pagarbatu, Kafilah turun tangan, membantu para prajurit yang sedang menghadapi musuh. Dengan bantuan Kafilah pihak Pagarbatu menjadi kuat, dan pertempuran bertambah sengit. Kafilah menghadapi Kamsur yang mengendarai naga terbang di udara. Dalam menghadapi orang sakti dari Tolanga itu, Kafilah bersenjatakan Clurit emas. Dalam satu kali tebasan, maka hancurlah Kamsur bersama naga saktinya. Semua prajurit kamsur tewas terkena tebasan clurit emas Kafilah. Salah seorang teman karib Kamsur yang bernama Rangrang ditemukan tewas di suatu tempat, dan tempat itu sampai sekarang dinamakan Rangkarang. Rangkarang diambil dari nama rangrang yaitu kegiatan penduduk desa Pagarbatu mencari kepiting di pantai.
Setelah kemenangan itu, maka mulailah kemasyhuran nama seorang putra desa yaitu Kafilah. Dan Desa Pagarbatu kembali menjadi Desa yang aman, makmur dan sentosa lagi.
Sementara itu yang terjadi di Kota Malang sebagai kota tempat tinggal paman Kafilah yaitu Hasbulah dirundung derita. Banyak gedung bangunan sekolah dan perguruan tinggi di Kota Malang rusak karena usianya yang sudah tua dan terkena gempa bumi. Walikota bermaksud membangun kembali gedung bangunan sekolah dan perguruan tinggi tersebut seperti sedia kala, megah seperti saat di bangun pertama kali oleh para insinyur Kota Malang.
Para insinyur dan tenaga ahli lainnya dikumpulkan untuk membangun kota pendidikan tersebut, mereka bekerja siang malam secara bergiliran. Sehingga boleh dikata pekerjaan membangun Kota Malang itu tanpa henti, terus-menerus.
Namun sungguh aneh, setiap kali gapura gedung sekolah itu selesai dikerjakan dengan sempurna yang sudah kelihatan indah dan megah itu tiba-tiba roboh berantakan.
Kejadian ini berulang-ulang hingga tiga kali. Lalu salah seorang tukang dari tim pembuat gapura itu berdoa mohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa, ia adalah seorang Kyai sakti dari Sumenep yang tidak lain adalah Ki Ambani kakek Kafilah yang merawatnya sejak kecil. Setelah beberapa malam sholat hajat ia mendapat bisikan gaib bahwa yang bisa menegakkan gapura gedung sekolah Kota Malang adalah cucunya sendiri yang berada di Sumenep, Madura yaitu Kafilah.
Atas persetujuan Walikota Malang, Kafilah dipanggil ke kota Malang. Pemuda sederhana namun bertubuh tegap dan tampan ini langsung menyembah hormat saat tiba di hadapan Walikota Malang."Benarkah kau sanggup menegakkan gapura gedung sekolah yang sedang kami bangun?” tanya walikota.
"Saya akan berusaha sesuai dengan kemampuan yang ada Tuanku."
"Kafilah...!"
"Ya tuanku..." sahut Kafilah penuh takzim.
"Ketahuilah, para insinyur dan tenaga ahli sudah mengerahkan segenap kemampuan untuk membangun kembali gapura itu. Jika kau tak sanggup membantu mereka menegakkan gapura gedung sekolah itu, maka kau dan kakekmu beserta semua tukang yang terlibat pembangunan gapura akan mendapat hukuman berat."
"Ya tuanku ..."
"Tapi jika kau berhasil membantu mereka maka kau akan mendapat hadiah dariku."
Siang itu juga Kafilah membantu para tukang untuk menegakkan gapura gedung sekolah. Kafilah ternyata sangat ahli di bidangnya. la mula-mula menganjurkan pondamen gapura diganti dengan batu-batu yang lebih besar dan kuat. Lalu ia sendiri meramu bahan perekat yang unik untuk menyusun batu-batu di atas pondamen itu. Kafilah bekerja keras siang dan malam. Sehingga menurut cerita dari mulut ke mulut disebutkan bahwa Kafilah dikubur di dalam tanah seperti orang meninggal lalu tanah yang menutupi tubuh Kafilah berubah menjadi cairan perekat (semacam semen). Dan tetes keringat di sekujur tubuhnya menjadi perekat yang ampuh untuk menegakkan gapura gedung sekolah Kota Malang.
Akhirnya dengan bantuan Kafilah para tukang dapat membangun dan menegakkan kembali gapura gedung sekolah Kota Malang. Tentu saja walikota sangat gembira melihat kenyataan ini.
Sejak saat itu Kafilah diangkat menjadi salah seorang perwira utama di Kota Malang. Sebab selain ahli bangunan ternyata Kafilah juga mempunyai ketrampilan olah keprajuritan. Bahkan mempunyai siasat perang yang tangguh. Oleh karena itu, jika ada hal-hal yang sulit diatasi para senopati dan panglima perang Kota Malang, Kafilah disuruh mengatasinya. Jika ada pemberontakan yang bertujuan merongrong wilayah kekuasaan Malang, Kafilah diperintahkan walikota memimpin pasukan untuk memadamkan pemberontakan itu.
Kafilah ternyata seorang prajurit yang tangkas dan cekatan dalam memimpin pasukan. Setiap pemberontakan terhadap Kota Malang selalu berhasil ia padamkan dengan tidak terlalu banyak memakan korban. Tidak aneh kalau Walikota sangat sayang kepadanya. la sering mendapat hadiah dari walikota. Karena Walikota sangat sayang kepada Kafilah, ada beberapa orang yang merasa iri hati kepadanya. Mereka yang merasa tidak senang itu menyebarkan isu bahkan fitnah bahwa kesetiaan Kafilah kepada Walikota hanya setengah-setengah. Kafilah berjuang bukan untuk kejayaan Kota Malang, tetapi sekadar mendapatkan hadiah dari walikota.
Fitnah dan desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga Walikota. Walikota sebenarnya ragu akan kebenaran berita itu. Walikota pun memutuskan untuk menguji kesetiaan Kafilah.
Walikota memanggil Kafilah. Setelah Kafilah menghadap, Walikota mulai berbicara, "Kafilah, aku mempunyai seorang putri bernama Hania. Maukah engkau seandainya ia kujodohkan denganmu?"
"Saya siap untuk dijodohkan dengan putri tuan", jawab Kafilah dengan suara tegas.
'Tetapi, apakah engkau tidak akan menyesal di kemudian hari?" tanya Walikota.
"Mengapa saya harus menyesal?" tanya Kafilah. "Ketahuilah,"kata Walikota menjelaskan, "putriku ini buta. Apakah engkau tetap mau mengawininya?"
"Saya tetap bersedia," jawab Kafilah dengan suara mantap. Walikota tersenyum gembira mendengar jawaban Kafilah yang meyakinkan itu. Hati Walikota semakin mantap bahwa Kafilah memang seorang satria yang sangat setia kepadanya. Isu dan fitnah itu hanyalah bohong belaka.
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Kafilah dengan Hania dirayakan di Balai Kota Malang. Ada bermacam-macam komentar atas pernikahan itu. Orang-orang yang tidak senang kepada Kafilah menganggap pengantin yang sedang bersanding merupakan lelucon yang tidak lucu. Karena mempelai pria gagah seperti Arjuna, sedangkan mempelai wanita kedua matanya buta. Pihak yang senang kepada Kafilah merasa tidak puas karena Kafilah yang besar jasanya kepada Kota Malang dinikahkan dengan putri yang buta. Menurut mereka, Kafilah sepantasnya dijodohkan dengan putri Walikota yang pal­ing cantik.
Setelah upacara dan pesta pernikahan itu selesai, Kafilah dan istrinya minta izin kepada Walikota untuk pulang ke Pagarbatu Sumenep. Walikota mengizinkan mereka.
Dengan diiringi beberapa prajurit dan para pembantu wanita dari Hania, Kafilah berangkat ke arah timur meninggalkan pusat pemerintahan Kota Malang yang indah permai. Meskipun Hania buta, Kafilah tetap menunjukkan rasa sayang kepada istrinya itu. Dalam perjalanan, ia selalu membelikan buah-buahan yang disukai Hania. Hania tidak menyangka Kafilah akan mencintainya sedemikian rupa.
Setelah sampai di pelabuhan Ujung Surabaya, Kafilah dan istrinya beristirahat beberapa hari di bandar yang ramai disinggahi perahu-perahu dari berbagai negeri. Kemudian, mereka menyeberang laut menuju Kamal ujung barat Pulau Madura. Setelah naik ke darat, Hania ingin mandi. Kafilah bingung karena di sekitar tempat itu tidak ada sumur atau sungai. Lalu, ia mengambil tongkat Hania dan melemparkannya ke dalam sebuah dam yang airnya keruh. Setelah tongkat itu diangkat, berubahlah air dam tadi menjadi jernih. Maka langsung Hania mandi dengan air jernih itu.
"Kanda Kafilah," teriak Hania dengan gembira, "Sungguh ajaib! Saya sekarang bisa melihat." Benarkah , Dinda? tanya Kafilah hampir tidak percaya.
"Betul," jawab Hania, "untuk apa saya berdusta. Lihatlah kedua mata saya. Saya sekarang sudah bisa memandang wajah Kanda."
Kafilah pun mernperhatikan mata istrinya. Tampak mata Hania sudah terbuka dengan biji mata seindah bintang kejora. Hati Kafilah sangat gembira. Mereka bersyukur atas karunia Tuhan yang tidak disangka-sangka ini.
Setelah puas mandi, Hania pun berganti pakaian. Kini, ia bisa memilih sendiri pakaiannya karena kedua belah matanya dapat melihat dengan sempurna.
Air dam yang telah menjadi jernih itu akhirnya menjadi sumber air yang sangat besar. Tempat itu sampai sekarang disebut Dam-daman. Hal ini untuk mengingat kejadian ajaib di mana sepasang mata Hania yang tadinya buta bisa melihat karena air yang dam yang tadinya keruh itu menjadi jernih.
Dalam perjalanan selanjutnya, Hania tidak perlu ditandu. Selain sudah bisa melihat, badannya terasa sehat sekali. Mereka terus berjalan ke arah timur.
Berhari-hari lamanya mereka berjalan melewati dataran rendah yang luas dan naik turun perbukitan. Mereka tidak susah mencari makanan karena daerah yang mereka lalui itu banyak terdapat toko dan warung menjual makanan dan minuman.
Ketika tiba di sebuah tempat, Hania ingin berganti pakaian lagi. Sebelum berganti pakaian, Hania mau mengambil sarungnya untuk menutupi tubuhnya agar tidak terlihat orang lain sewaktu mengganti pakaiannya. Hania terkejut karena sarungnya jatuh dan dihanyutkan air yang sangat deras alirannya. Ia segera memberi tahu suaminya.
Tanpa pikir panjang, Kafilah pun mengejar sarung istrinya yang hanyut oleh air. Setelah tiba di dekat sarung itu, Kafilah cepat memungut dan mengembalikannya kepada Hania. “Inilah sarungnya, Dinda!” Kata Kafilah. “Enggi Kanda”, jawab Hania.
Sumber besar yang terletak di sebelah utara Desa Pagarbatu itu sampai sekarang disebut Saronggi. Kata Saronggi berasal dari kata Sarong dan Enggi, bahasa Madura, Sarong artinya sarung dan enggi artinya iya.
Setelah beberapa hari mereka berjalan menelusuri hutan belantara di pulau Madura, dan ketika tiba di suatu tempat Hania ingin cuci muka karena ingin memakai bedak palengkeran khas Madura. Ternyata persediaan air sudah habis. Maka, pada seorang penduduk di Desa itu Kafilah bermaksud minta air sekedar untuk dijadikan campuran bedak istrinya. Namun tidak satupun penduduk di sana yang mau memberikan air sedikitpun kepada Kafilah. Karena saking mangkelnya, Kafilah menegadahkan tangannya seperti orang sedang berdoa sambil berteriak-teriak, talang… talang, memanggil talang yang dapat menampung air. Sampai saat ini, tempat itu dikenal dengan Desa talang, yang diambil dari kata terikan Kafilah.
Perjalanan Kafilah dan Hania pun diteruskan menuju ke timur. Sampai di suatu tempat, Kafilah dan Hania menemukan sumber air yang jernih. Sumber air itu sangat besar dan jernih. Akan tetapi Kafilah dan Hania heran, banyak sumber air di situ, mengapa tak satu pun penduduk desa itu mau memberikannya pada Kafilah yang memintanya. Hal itulah yang membuat Kafilah menjadi marah. Oleh karena itu, tempat sumber air tersebut dinamakan Mara’an. Diambil dari kata marahan yang dilakukan Kafilah.
Setelah sampai di Pagarbatu, Kafilah disambut dengan gembira oleh ayah bundanya serta masyarakat Pagarbatu. Apalagi Kafilah membawa pulang seorang istri yang cantik jelita. Ibunda Kafilah Hasiyah sangat senang pada Hania. Selain cantik dan berkulit kuning langsat, istri Kafilah itu sangat pintar memasak. Setiap hari Hania membantu kesibukan Hasiyah di rumah. Itulah yang membuat Hasiyah sangat menyayangi Hania.
Kakek Kafilah dari pihak ibu bernama Hamsita adalah seorang Kepala Kelurahan yang memerintah Kelurahan Tlogomas. Pemerintahannya berada di bawah naungan wilayah Kota Malang. Setelah Hamsita memasuki usia tua, ada sekawanan bajak laut dari luar kota yang mengganggu wilayah perairan Malang. Lagi-lagi Kafilah mendapat tugas mengamankan wilayah tersebut. Dalam pertempuran yang sengit dengan bekal senjata clurit emas dari kakeknya akhirnya Kafilah dapat mengusir kawanan bajak laut tersebut. Walikota Malang ikut gembira mendengar keberhasilannya ini.
Atas jasanya ini Kafilah pun dinobatkan menjadi Pak Lurah yang memerintah wilayah Kelurahan Tlogomas. Menggantikan kakeknya yang sudah berusia lanjut. Selain itu, Walikota Malang juga mengirim Kafilah ke Kota Yogyakarta untuk menambah ilmu kedigdayaannya agar ketahanan Kota Malang menjadi lebih kuat.
Di bawah kepemimpinan Kafilah, masyarakat Tlogomas benar-benar mengalami jaman kemakmuran dan keadilan, karena pemimpinnya memang seorang gagah berani yang sabar, jujur dan adil.
BERSAMBUNG

No comments: