Tuesday, October 13, 2009

HASIL KARYA SASTRA

SI ANAK TOMBOI

Satu bulan sebelum ulang tahun Misdah yang ke 13, orang tuanya berbicara pada Misdah dan kakak laki-lakinya. Pembicaraan itu tentang betapa mereka menyayangi Misdah dan saudaranya, tapi tidak saling mencintai. Dan tentang betapa jauh lebih bahagianya semua orang jika mereka berpisah. Tapi orang tua Misdah mengubah akhir pembicaraan itu dengan berkata, “Menurut kami, jalan yang terbaik untuk kalian berdua adalah tinggal dengan ayah kalian.” Ibunya yang berkata begitu, sambil membelai-belai rambut Misdah dengan jarinya yang berkuku merah.

Setelah kejadian itu, perut Misdah seolah berat sekali, seperti sebutir batu tajam yang menggelinding kesana kemari. Hidup dengan ayahnya dan kakak laki-lakinya, dalam dunia maskulin mereka, yang berisi celana pendek, dan pertandingan kasti tidak mudah. Ketika tiba waktunya Misdah meninggalkan peran tomboinya, berhenti mengenakan levi’s kusam dan kemeja kakaknya, dan mulai menjadi seorang wanita muda, Misdah malah beteriak-teriak, menyoraki pembasket di telivisi dan mengunyah permen karet. Semua teman Misdah memperhatikan ibu mereka mengenakan eyeliner dan perona pipi dan berlatih mengenakan mike up ketika ibu mereka pergi. Satu-satunya mike up yang Misdah tahu adalah coretan hitam di bawah mata pemain ketoprak humor di telivisi.

Tumbuh tanpa ibunya Misdah harus selalu membawa dirinya sendiri ke jenjang kehidupan atau tertinggal jauh di belakang. Misdah mengenakan baju seperti yang dipakai teman-temannya. Membeli sendiri bra pertamanya dan mulai mencukur bulu kakinya ketika teman-temannya melakukan hal itu. Misdah merasa tertatih-tatih mengikuti mereka dari belakang. Dirinya sadar, kalau status tidak beribunya terlihat jelas. Ketika mendapat haid pertamanya, Misdah mendekam di pojok kamar mandinya yang berwarna pink, merasa seperti anak kecil ketika melihat kemunculan ciri wanita dewasa. Yang membuat Misdah justru ingin mati ketika dia harus berkata, “Yah, aku dapat haid!” Ibunya seolah seperti kerabat jauh yang hanya bisa ditemui beberapa kali seminggu atau saat mengirim kartu ulang tahun jika dia ingat. Kata ibu asing buat Misdah. “Kenapa ibu tidak menginginkanku?” Misdah bertanya-tanya.

Guru dan orang tua temannya selalu memperlihatkan mimik kasihan ketika ayahnya menjemput dari pesta sendirian, menghadiri pertunjukan drama atau saat hadir dalam pertemuan orang tua di sekolah. Sering karena benci dikasihani, Misdah mengisi beberapa menit waktu luang saat berada di sisi ibunya dengan khayalannya. Kemudian sambil iseng, Misdah membicarakannya saat makan siang atau di rumah temannya. Biarlah mereka tidak tahu kalau yang Misdah miliki cuma seorang ibu khayalan yang cuma menyentuh hidupnya dalam bayangan.

Meski pada awalnya sulit, ayah Misdah berusaha semampunya mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya. Ayahnya mendahulukan Misdah daripada kakaknya. Kadang mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi anaknya. Meski kehilangan istri dan pernikahannya, dia selalu tersenyum. Ayah yang membawa Misdah dan kakaknya ke dokter, mendengarkan masalah mereka, dan membantu mengerjakan PR. Ayah juga siap dengan jajanan, ketika teman-teman Misdah menginap, dan siap menceritakan lelucon konyol yang menjadi ciri khasnya. Ayah selalu menonton pertunjukan dan pertandingan volleyball di sekolah Misdah. Kebanyakan ayah tidak pernah meninggalkan pekerjaan mereka untuk menghadiri bahkan salah satu dari semua kegiatan itu. Tapi ayah Misdah menghadiri semuanya. Yang terpenting ayah selalu menyadari kekecewaan Misdah dan mencoba memperbaiki situasi yang buruk.

Setelah beberapa lama, semua orang yang tadinya mengasihani Misdah melihat perhatian besar ayahnya pada kesejahteraan Misdah. Mereka menyadari bahwa meskipun Misdah berbeda dengan yang lain, namun tidak ada yang salah dengan diri atau hidupnya. Lama kelamaan Misdah terbiasa dengan keadaan ini. Dan meski dia tidak pernah berhenti berharap, ibunya menjadi bagian yang lebih penting dalam hidupnya. Misdah menerima kenyataan kalau bukan itu yang terjadi. Ibunya cuma bagian dari dirinya.

Selama beberapa tahun terakhir Misdah menjadi lebih dekat dengan ibunya. Misdah menerima ibunya apa adanya. Meskipun ia tidak selalu menjadi ibu yang Misdah inginkan. Misdah kini sadar tidak apa-apa kalau dia tidak punya keluarga ideal seperti dalam cerita. Lengkap dengan ayah, ibu dan dua anak. Siapa bilang, kalau itu adalah definisi sebuah keluarga? Rumah Misdah memang unik, tapi di dalamnya, juga ada cinta dan kesetiaan, yang sama seperti dalam keluarga-keluarga lainnya.


SEKIAN